Jumat, 12 April 2013

Eksistensi dan Pemahaman Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia


A.             Pengertian HAM
HAM adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan.HAM berlaku secara universal.Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.Hak Asasi Manusia (yang selanjutnya dalam makalah ini disingkat HAM) berkembang dan dikenal oleh dunia hukum modern sekitar abad 17 dan 18 di Eropah. HAM tersebut semula dimaksudkan untuk melindungi individu dari kekuasaan sewenang-wenang penguasa (raja). Namun dalam perkembangannya HAM bukan lagi milik segelintir orang, melainkan hak semua orang (universal) tanpa terkecuali.Atas dasar kesadaran itulah dilahirkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights (UDHR)) tahun 1948.Dengan dituangkannya nilai-nilai HAM yang terkandung di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut telah membawa konsep tatanan dalam rezim-rezim baru yang terlibat dalam pembangunan institusi maupun konstruksi demokrasi berpandangan bahwa pendidikan HAM merupakan sarana penangkal yang tepat untuk mencegah kambuhnya kembali kecenderungan pelanggaran HAM.
      Konsep HAM yang sebelumnya cendrung bersifat theologies, filsafati, ideologis atau moralistik dengan kemajuan berbangsa dan bernegara dalam konsep modern akan cendrung kesifat yuridis dan politik , karena instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh dan hukum internasional baik tertulis maupun tidak tertulis.Bentuknya bisa dalam wujud deklarasi, konvensi, kovenan, resolusi maupun general comments.Instrumen-instrumen tersebut akan membebankan kewajiban para negara-negara anggota PBB, sebagian mengikat secara yuridis dan sebagian lagi kewajiban secara moral walaupun para negara anggota belum melakukan ratifikasi secara formal.

      Di Indonesia, pemahaman HAM sebagai nilai, konsep dan norma yang hidup dan berkembang di masyarakat dapat ditelusuri melalui studi terhadap sejarah perkembangan HAM yang dimulai dari zaman pergerakan hingga sekarang, yaitu ketika amandemen terhadap UUD 1945 yang secara eksplisit memuat pasal-pasal HAM. Seperti halnya konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia (Konstitusi RIS dan UUDS 1950), UUD 1945 amandemen juga memuat pasal-pasal tentang HAM dalam kadar dan penekanan yang berbeda, disusun secara kontekstual sejalan dengan suasana dan kondisi sosial dan politik pada saat penyusunannya. Penyusunan muatan HAM dalam amandemen kedua UUD 1945 tidak terlepas dari situasi sosial dan politik yang berkembang dan nuansa demokratisasi, keterbukaan, pemajuan dan perlindungan HAM serta mewujudkan negara berdasarkan hukum.
        Pengaturan HAM di Indonesia tidak hanya terbatas pada konstitusi yakni Amandemen UUD 1945, melainkan diatur juga dalam peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksana. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 8 telah menentukan dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan didasari pada materi muatan mengenai HAM.
   Sebagai salah satu syarat negara hukum yang demokrasi harus ada jaminan HAM dalam konstitusi maupun dalam semua peraturan perundang-undangan. Jaminan HAM dalam negara meliputi sistem hukum yang dianut dan penerapannya melalui unsur-unsur dalam sistem hukum yang menurutLawrence Meir Friedman (1975,1998) terdapat tiga unsur dalam sistem hukum, yakni Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur Hukum (Legal Culture).Sebagai negara yang sebagian besar hukumnya dipengaruhi oleh sistem hukum Cicil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental yang menghendaki hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Hal tersebut bertujuan untuk menjamin pelaksanaan asas legalitas. Prinsip-prinsip HAM harus termuat dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga dalam proses penegakan hukum akan meminimalisir terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat penegak hukum dan aparatur pemerintah.
Contoh pelanggaran HAM:



1.              Penindasan dan membatasi hak rakyat dan oposisi dengan sewenang-wenang.
2.              Hukum (aturan dan/atau UU) diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi.
3.              Manipulatif dan membuat aturan pemilu sesuai dengan penguasa dan partai tiran/otoriter.

Universal Declaration of Human Rights (Isi Pernyataan Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia) antara lain mencantumkan, bahwa setiap orang mempunyai hak :

·                        Hidup
·                        Kemerdekaan dan keamanan badan
·                        Diakui kepribadiannya
·                        Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah
·                        Masuk dan keluar wilayah suatu Negara
·                        Mendapatkan asylum
·                        Mendapatkan suatu kebangsaan
·                        Mendapatkan hak milik atas benda
·                        Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan
·                        Bebas memeluk agama
·                        Mengeluarkan pendapat
·                        Berapat dan berkumpul
·                        Mendapat jaminan social
·                        Mendapatkan pekerjaan
·                        Berdagang
·                        Mendapatkan pendidikan
·                        Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
·                        Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan


B.    Eksistensi HAM dalam Sistem Hukum di Indonesia
Membahas mengenai sistem hukum Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum yang berlaku di dunia. Terdapat beberapa sistem hukum di dunia yang mempengaruhi sistem hukum Indonesia, diantaranya civil law system, Common Law Sistem dan Religion Law Sistem atau Sistem Hukum Islam. Terlepas dari sistem hukum yang dianut dalam negara Indonesa, hal yang terpenting dalam pengaturan HAM di Indonesia adalah kemauan politik pemerintah.Konsep HAM yang pada hakikatnya juga konsep tertib dunia akan menjadi cepat dicapai kalau diawali dari tertib politik dalam setiap negara. Artinya kemauan politik pemerintah, antara lain berisi tekad dan kemauan untuk menegakkan HAM dapat menjadi masalah. Ketika hal ini menjadi bagian dari kemauan pemerintah internal, benturan dalam masyarakat bisa saja terjadi, khususnya antara suprastruktur dan infrastruktur. Konflik terjadi sebagai akibat adanya perbedaan titik tekan prioritas. Kalau prioritas ditekankan kepada stabilitas dengan alasan memperkuat lebih dahulu basis ekonomi, pemberian HAM dapat dinomor duakan. Sistem politik sentralistik yang menerapkan sistem ini. Sebaliknya, sistem politik demokrasi dapat memberikan kebebasan dan menjamin Hak Asasi. Ketentraman dan kepuasan batin warga menjadi prioritas utama. Aturan hukum yang diciptakan cukup akomodatif.

              Untuk mengamati kedudukan HAM dalam sistem hukum di Indonesia diperlukan analisa terhadap unsur dalam sistem hukum itu sendiri. Menurut Lawrence Meir Friedman (1975,1998) terdapat tiga unsur dalam sistem hukum, yakni Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur Hukum (Legal Culture).Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui eksistensi HAM dalam sistem hukum Indonesia selain pada tataran konsep juga dalam tataran praktek.


1. Substansi Hukum (Legal Substance)
      Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living l­aw), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books).Idealnya tatanan hukum nasional mengarah pada penciptaan sebuah tatanan hukum nasional yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan relasi antara warga negara, pemerintah dan dunia internasional secara baik. Tujuan politik hukum yaitu menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, transparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks dan reduksionistik.
Substansi hukum berkaitan dengan proses pembuatan suatu produk hukum yang dilakukan oleh pembuat undang-undang. Nilai-nilai yang berpotensi menimbulkan gejala hukum dimasyarakat dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembuatan suatu produk perundang-undangan dipengaruhi oleh suasana politik dalam suatu negara.
Dalam kaitannya dengan HAM, negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut dapat ditelusuri dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang terdiri atas lima sila, ditambah dengan Pembukaan UUD 1945 dalam alinea pertama yang menyatakan: Kemerdekaan ialah hak segala bangsa serta penjajahan harus dihapuskan. Serta dalam alinea kedua yang menyatakan: Kemerdekaan negara menghantarkan rakyat merdeka, bersatu, adil dan makmur.
            Pemasukan unsur-unsur HAM dalam peraturan perundang-undangan telah disadari oleh para pendiri negara Indonesia sebagai sesuatu yang wajib ada dalam negara yang berasaskan demokrasi. Dalam tataran makro, HAM telah digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kemudian diformalkan dalam bentuk peraturan perundang-udangan oleh lembaga politik/DPR dan dioperasionalkan/dilaksanakan oleh pejabat/aparat negara dalam bentuk peraturan pemerintah/peraturan lainnya sebagai pegangan para pejabat.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep HAM yang berlaku secara universal melalui hukum Internasional membebankan kepada Indonesia sebagai salah satu anggota PBB untuk meratifikasi kedalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu contoh adalah Konvenan Internasional Hak-Hak Sipol (International Covenan on Civil and Political Rights) yang dalam makalah ini disingkat ICCPR.


ICCPR dapat diklasifikasikan dalam dua bagian yakni:

1.Non Derogable

             Non Derogable adalah Hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak yang termasuk jenis ini, yakni: Hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari penahanan karena gagal dari memenuhi perjanjian (seperti: hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, hak sebagai subyek hukum, hak atas kebebasan berfikir, keyakinan dan agama). Pelanggaran terhadap hak jenis ini akan mendapatkan kecaman sebagai pelanggaran serius HAM (Gross Violation of Human Rights).

2.Derogable

           Derogable adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Termasuk dalam jenis hak ini yakni: hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak atas kebebasan berserikat termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan (lisan-tulisan). Negara-negara pihak diperbolehkan mengurangi atas kewajiban dalam memebuhi hak-hak tersebut. Akan tetapi pengurangan hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak diskriminatif, yaitu demi menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, menghormati hak atau kebebasan orang lain.
       Di Indonesia, selain UUD 1945, keberadaan hak-hak sipil yang sesuai dengan Konvenan Sipil dan politik termuat dalam banyak peraturan perundang-undangan. Meskipun demikian secara material, peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibedakan atas:
Peraturan perundang-undangan yang khusus mengenai hukum HAM, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Peraturan perundang-undangan lainya yang didalamnya memuat ketentuan yang berkaitan dengan HAM, baik secara eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat).
          Masih terdapatnya peraturan perundang-undangan diluar peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai HAM yang bertentangan dengan HAM. Sehingga perlu melakukan inventarisasi, mengevaluasi dan mengkaji seluruh produk hukum, KUHP dan KUHAP, yang berlaku yang tidak sesuai dengan HAM. Banyak sekali pasal-pasal dalam berbagai Undang-Undang yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan HAM. Termasuk beberapa Undang-Undang yang dihasilkan dalam era reformasi. Hal ini sebagai konsekuensi dari karakter rejim sebelumnya yang memang anti HAM, sehingga dengan sendirinya produk perundang-undangan kurang atau sama sekali tidak mempertimbangan masalah HAM. Dalam konteks ini, maka agenda tersebut sejalan dan dapat disatukan dengan agenda reformasi hukum nasional dan ratifikasi konvensi/kovenan, internasional tentang HAM yang paling mendasar seperti kovenan sipil-politik dan kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya berikut peraturan pelaksanaanya.

Struktur Hukum (Legal Structure)
            Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan secara keseluruhan.Struktur hukum merupakan institusionalisasi kedalam beradaan hukum. Struktur hukum disini meliputi lembaga negara penegak hukum seperti Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat dan lembaga penegak hukum yang secara khusus diatur oleh undang-undang seperti KPK. Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
Termasuk dalam struktur hukum yakni hirarki peradilan umum di Indonesia dan unsur struktur yang meliputi jumlah dan jenis pengadilan, yurisdiksinya, jumlah hakim agung dan hakim lainnya.
Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Tetapi dengan adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, secara institusional maupun hukum materil (hukum positif), menjadikan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan HAM menjadi kuat.
Adanya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) dan peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakan hukum. Pada tataran implementasi, memang masih banyak kelemahan dari kedua lembaga tersebut, akan tetapi dengan adannya Komnas HAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya-upaya peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki dua pijakan penting, yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan UU organiknya serta Komnas HAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM dapat diproses sampai di pengadilan.
Perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangka supremasi hukum karena telah memperoleh pijakan legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan dengan HAM dan hukum. Pengembangan kapasitas kelembagaan pada instansi-instansi peradilan dan instansi lainnya yang terkait dengan penegakan supremasi hukum dan perlindungan HAM.
      Prioritas utama dalam penegakan hukum HAM yakni dengan meningkatkan kapasitas hakim, jaksa, polisi, panitera dan unsur-unsur pendukungnya dalam memahami dan menangani perkara-perkara hukum yang berkaitan dengan HAM. Termasuk didalamnya mengenai administrasi dan pelaksanaan penanganan perkara-perkara hukum mengenai pelanggaran HAM.
Permasalah HAM baru masuk secara resmi dalam sistem peradilan kita semenjak bergulirnya reformasi. Sehingga dapat dilihat masih banyak, aparat penegak hukum kita yang tidak memahami persoalan HAM. Terlebih lagi untuk menangani perkara hukum di peradilan yang pembuktiannya amat pelik dan harus memenuhi standar Komisi HAM PBB. Oleh sebab itu institutional capacity building di instansi-instansi Negara yang terkait dengan masalah HAM ini menjadi amat penting dan mendesak.


Kultur Hukum (Legal Culture)

      Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.Dalam konteks HAM, peran serat masyarakat sangatlah penting. Dilihat dari sejarah, adat kebiasaan, hukum, tata pergaulan dan pola bangsa Indonesia pada umumnya terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki dan mengenal ide yang berkaitan dengan HAM. Bukti empiris yaitu adanya ungkapan-ungkapan yang sudah dikenal sejak nenek moyang, seperti istilah rembug desa, adat pusako jo koto, mufakat, gotong royong, tut wuri handayani, kabukit samo mendaki ka lurah samo menurun, musyawarah, dan lain-lain.

Proses perkembangan masyarakat Indonesia telah mempertemukan asas hukum adat dengan sistem hukum bangsa/budaya asing secara terus menerus, sehingga terjadi interaksi dan saling mengisi, mengakibatkan adanya perpaduan/perubahan/pergeseran. Istitusi hukum akan semakin kuat jika ideologi politik demokrasi menyatu, dalam arti dilaksanakan dengan penuh disiplin dan tanggung jawab, sehingga rasa keadilan dapat terwujud dalam masyarakat.
Diakuinya eksistensi HAM dalam sistem hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan pergaulan Internasional. Terlepas dari pelaksanaan penegakan hukum HAM oleh aparat negara, secara konsep HAM telah tertuang dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan baik eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat) yang tujuan utamanya memberikan perlindungan hukum terhadap warga negara terhadap tindakan kesewenangan yang dilakukan penguasa maupun pihak mayoritas.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar