Jakarta, CyberNews. Penyelesaian konflik di Papua terhambat oleh masih adanya ‘tembok’ yang memisahkan Papua dengan Jakarta. Persoalan tersebut adalah masalah ketidakpercayaan.
"Hal itu membuat apapun upaya yang selama ini diinisiasi pemerintah, gagal dan membutuhkan dialog sebagai pembuka jalur penyelesaian," kata peneliti LIPI Muridan S Widjojo dalam diskusi bertema ‘NKRI, Papua, dan Freeport’ di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Jumat (4/11).
Menurutnya, ketidakpercayaan rakyat Papua telah lama terjadi. Hal itu juga dipicu oleh langkah pemerintah sendiri dalam merespons konflik Papua. Dia mengatakan, masyarakat Papua bersandar pada sejarah.
"Misalnya, keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak 1965, yang dijawab pemerintah dengan menurunkan tentara. Sayangnya, tentara saat itu tidak hanya menembaki para anggota OPM, melainkan juga membakar kampung-kampung dalam rangka mendukung upaya tersebut," ujarnya.
Dikatakan, cerita tentang pelanggaran HAM di Papua cukup panjang. Cara-cara demikian, lanjutnya, terpelihara dan membuat konflik yang ada menjadi tidak terselesaikan serta memunculkan trauma.
Keritikan : "Untuk keluar dari konflik berkepanjangan ini, pemerintah jangan lagi menggunakan pendekatan keamanan. Sebab, harus menempuh dialog berlapis. Mulai dari dialog di internal Papua, dialog antara pemerintah, serta yang terpenting adalah dialog antara Papua dengan Jakarta,"
Penyelesaian Konflik papua dari segi Budaya
JUBI --- Diaz Gwijangge, Anggota Komisi X DPR RI memberikan perspektif dalam penyelesaian konflik Papua akibat berkibarnya Bintang Kejora (BK) yang telah menelan banyak korban jiwa, baik di pihak rakyat sipil maupun di pihak aparat keamanan.
“Kalau misalnya sekarang, kita lihat fakta yang sedang bergulir, JDP di bawah pimpinan Pater Neles Tebay dan kelompok sosial masyarakat lain yang juga tergabung di dalamnya sudah memulai proses ini agar tidak deadlock seperti BK dan Merah Putih karena sudah begitu banyak korban yang jatuh di kedua belah pihak setiap tahun jadi kita coba cari jalan/solusi damai,” tutur Gwijangge pada JUBI hari ini, Selasa (16/7).
Dalam sejarahnya, BK resmi dikibarkan pada Tanggal 1 Desember 1961 di Hollandia berdampingan dengan Bendera Belanda. Hollandia adalah nama Kota Jayapura pada jaman kependudukan Belanda di Papua.
Di sisi lain, Gwijangge juga mempertanyakan kesanggupan Pemerintah Indonesia untuk duduk sama rendah atau berdiri sama tinggi dengan Rakyat Papua dalam menyelesaikan berbagai konflik yang disebabkan oleh BK.
“Di sisi yang lain juga, pertanyaan saya adalah apakah Rakyat Papua mau atau tidak untuk duduk bersama-sama dengan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan berbagai persoalan?” Tanya Gwijangge.
Gwijangge juga mengaku bahwa dirinya tidak memahami dengan baik makna dari setiap simbol di dalam BK itu sendiri hingga saat ini tetapi secara umum ada filosofis dan mitologi dari tiap suku di Papua tentang BK itu sendiri. Hal itulah yang membuat Orang papua merasa BK tidaklah jauh dari dirinya sendiri.
Bintang Kejora yang juga disebut Bintang Pagi ini biasanya dijadikan para nelayan sebagai penuntun. Sebagai penunjuk arah ketika mereka berada di tengah lautan tanpa kompas navigasi. Bintang Kejora adalah harapan bagi para nelayan yang sedang menanti datangnya pagi. Bintang Kejora adalah pedoman arah bagi masa depan yang cerah, secerah matahari terbit.
NEGERI YANG TAK PERNA ADA KEDAMAIN.
Penulis sengaja katakan negeri yang tak perna ada kedamain karena Papua kapan saja dimana saja bisa damai, bisa senang dan bisa mencekam hal itu bukan menjadi hal yang tabu setiap tanggal 1 Desember Rakyat Papua tau mereka akan terusik, sebelum HUT RI 17 Agustus pasti ada upaya pengibaran bintang kejora dan berbagai macam cara dan bentuk Papua tidak aman, serta berbagai aksi penembakan sewaktu-waktu bisa kembali terjadi oleh Orang Tak di kenal. Dan terlebih stikmanisasi orang Papua yang terus membunuh karakter bangsa Papua, Ini bukan kali pertama terjadi konflik ini telah dimulai sejak Indonesia menguasai Papua sejak tanggal 1 Mei 1963 dan hingga kini, persoalan Otsus banyak belum dituntaskan secara komperhensif dan menyeluruh. Baik itu persoalan Hak Asasi Manusia (HAM), persoalan ekonomi, dan masih banyak persoalan lainya dan rentetan dari persoalan-persoalan inilah yang menimbulkan stigma orang Papua mungkin bukan orang Indonesia, layaknya seperti orang Indonesia lain sehingga rasa ketidak percayaan orang Papua semakin tinggi, ketidakpercayaan ini diperlihatkan melalui beberapa cara. Yaitu mendesak perlu ada dialog antara pemerintah Indonesia dan orang Papua dan tuntutan referendum yang dimunculkan terutama dari kalangan pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam berbagai forum-forum ekstrim di papua.
Buntutnya pergolakan demi pergolakan terus dilakukan untuk meminta pengakuan yang sama sebagai warga negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka menyelesaikan konflik Papua, telah melakukan sejumlah operasi militer secara besar-besaran di tanah Papua. Operasi militer yang menewaskan warga atau masyarakat sipil, merusak fasilitas tidak dapat ditolelir sebagai kelasiman prosedur militer, rasanya tidak ada prosedur baku seperti itu, ini cara-cara tersebut merupakan pelanggaran berat atas HAM, terlebih kepada masyarakat sipil, dan juga melanggar aturan sebagai operasi militer, mereka harus melindungi nyawa masyarakat sipil dan konflik yang berlarut-larut. Banyak kalangan menilai operasi militer yang kurang selektif dan diskriminatif, telah menumbuhkan perasaan tidak senang yang meluas.
Padahal untuk menyelesaikan masalah Papua menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) “pemerintah perlu suatu strategi untuk identifikasi susber-sumber komflikya lebih dulu secara jelas. Upaya penyelasaian dengan jalan kekerasan tentu tidak akan menyelesaikan konflik Papua, selain dengan jalan damai. Banyak pihak sudah mengumandangkan pentingnya dialog antara pemerintah dan orang Papua atau dialog Jakarta dengan Papua untuk menyelesaikan konfilk secara damai karena pengalaman dan sejarah Papua memperlihatkan bahwa kekerasan tidak pernah menyelesaikan konflik Papua. Kekerasan malah menambah jumlah korban dan memperbanyak masalah. Maka penyelesaian konflik Papua hanya melalui jalan damai yakni dialog, Baik itu dialog internal orang Papua, warga Papua, wakil-wakil orang Papua di dalam dan di luar negeri dan dialog pemerintah Indonesia dengan orang Papua karena. Dialog merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk mencegah pertumpahan darah di masa depan.
Pernyataan ini (Dialog) merupakan satu topik utama yang selalu muncul sebagai tuntutan disetiap aksi-aksi (Demonstrasi) yang dilakukan oleh orang Papua. Namun tidak pernah terealisai. padahal komitmen Indonesia untuk menyelesaikan konflik Papua secara dialog sudah dinyatakan secara publik. Oleh berbagai pihak seperti pernyataan Mentri Luar Negeri Hasan Wirayuda yang mengumumkan niat pemerintah yang mengutamakan solusi tanpa kekerasan. dan DPR RI selaku pihak legislatif telah memperlihatkan pentingnya dialog untuk menyelesaikan konflik Papua. Pandangan DPR ini diungkapkan oleh Komisi I yang membidangi Pertahanan dan Masalah Luar Negeri melalui Ketuanya Teo L Sambuaga, yang mendorong pemerintah sebaga pihak legislatif agar segera mengadakan dialog nasional dan lokal untuk menyelesaikan konflik Papua.
Semua komiten pemerintah ini sesuai dengn niat atau komitmen pribadi Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang berkehendak mengatasi berbagai persoalan di Indonesi dengan tiga pendekatan utama, masing-masing keadilan, demokrasi dan damai. Untuk menyelesaikan konflik Papua harus secara damai dan demokratis seperti penyelesaian konflik di Nanggroe Aceh Darussalam “Papua sudah sangat jelas, Kita akan mengedepankan cara-cara demokrasi dan damai seperti di Aceh” . Banyak pihak sudah mengumandangkan dialog antara pemerintah dan orang Papua atau dialog Jakarta-Papua untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai. Namun hingga kini belum ada suatu suatu konsep tertulis tentang dialog Jakarta-Papua yang dikehendaki oleh pemerintah dan orang Papua.
Desakan dialog yang kuat dari berbagai kalangan yang dituangkan dalam suatu konsep tertulis untuk menyelesaikan konflik Papua dengan cara dialog danTIDAK BERBICARA SOAL MERDEKA