Inilah kisah tentang wanita Mesir yang bersama suaminya akan menunaikan ibadah haji. Mereka datang melalui jalan laut. Mereka tiba dan menunaikan manasik haji.
Mereka thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i, meminum air zam-zam, dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Mereka tiada henti-hentinya meneteskan air mata, hingga kembali pulang menuju negeri mereka melalui jalan laut. Suaminya berkata, “Kami berada di dalam sebuah ruangan kamar kapal laut. Ada saya, istri dan anak-anak saya.”
Ketika itu kami sedang bercengkerama, tiba-tiba terdengar teriakan keras dan hentakan telapak kaki. Saya pun keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata semua orang berteriak dengan keras, “Kapal akan tenggelam. Kapal akan tenggelam!”
Dengan penuh ketakutan, saya secepatnya kembali ke kamar dan berkata kepada istri saya, “Kita harus segera keluar, kapal ini akan tenggelam, kapal ini akan tenggelam!” Tapi istri saya menolak, “Tidak, aku tidak akan keluar.”
“Apa yang kamu katakan? Apa kamu sudah gila? Apa akalmu telah hilang? Kapal ini akan tenggelam, kamu ingin mati?”
Dia menjawab, “Aku tidak akan keluar sebelum aku mengenakan jilbabku dengan sempurna.”
Saya berusaha menjelaskan kepadanya bahwa orang-orang saat ini tidak akan sempat memandang wanita, karena sedang berada dalam bencana yang besar.
Istriku menjawab, “Aku tidak akan berdebat dalam perkara ini dan janganlah engkau mendebatku dalam masalah ini. Demi Allah, aku tidak akan keluar dari kamar ini kecuali aku telah mengenakan jilbabku dengan sempurna, jilbab yang diperintahkan oleh Allah kepadaku.”
Aku pasrah dengan realita yang terjadi. Maka dia mengenakan jilbabnya. Saat itu orang-orang saling mendorong ingin menye-lamatkan diri mereka masing-masing.
Lalu dia mengenakan jilbabnya yang mengagumkan. Saat itu istriku tampak sangat tenang. Tidak terlihat tanda-tanda gelisah, takut, dan bersedih. Kemudian kami keluar dan ia telah mengenakan jilbabnya dengan sempurna. Aku memegang tangannya dan ia memegang erat tanganku.”
Tiba-tiba istriku bertanya, “Wahai suamiku, apakah engkau ridha kepadaku?” Aku pun menjawab,”Ya.”
Sungguh aku merasa aneh dengan pertanyaannya. Apakah ini saat yang tepat dia bertanya begitu?”
Dengan jawabanku itu, istriku merasa gembira dan aman. Ia menyunggingkan senyuman. Lalu kami pergi untuk mencari keselamatan. Akan tetapi kami dipisahkan oleh ombak yang besar. Akhirnya kapal kami pun tenggelam.
Tak lama kemudian datanglah tim penyelamat. Mereka menyelamatkan orang-orang yang masih bisa diselamatkan dan tidak mampu menyelamatkan sisanya.
Saya termasuk orang yang selamat. Saya dan anak-anak mencari istri saya di tengah orang-orang yang selamat, namun saya tidak menemukannya. Lalu saya pergi ke tempat para jenazah korban yang tenggelam. Saya mendapatkannya dalam keadaan telah mati dalam jilbabnya.
Laa ilaaha illallah…Betapa jauhnya para wanita kita dibanding wanita ini. Salah seorang dari mereka keluar rumah dengan merasa aman, bebas, dan tenang. Dengan perasaan seperti itu, ia keluar ke pasar dengan memperlihatkan kepalanya, memakai wewangian, berdandan, dan menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya.
Sebaliknya, wanita yang dalam bahaya dan bencana besar ini tetap berpegang kepada jilbabnya. Saya tidak ingin mengomentari sikap ini. Akan tetapi saya ingin menyerukan kepada saudari-saudari yang beriman, “Bertakwalah (takutlah) kepada Allah dalam jilbab anda. Manakah yang anda pilih, jilbab anda atau Neraka? Bertakwalah kepada Allah tentang simbol kesucian dan kehormatan ini.
Janganlah meninggalkan bagaimanapun keadaan dan perihal anda. Takut terhadap su’ul khatimah (akhir hidup yang jelek) adalah kebiasaan para ulama dan merupakan sesuatu yang mengejutkan orang-orang shalih.
Sahl bin Abdullah At-Tustury berkata, “jilbabmu atau Neraka? Bertakwalah kepada Allah dalam masalah simbol kesucian dan kehormatan. Jangan melepaskannya bagaimanapun kondisi dan keadaanmu…”
Takut terhadap su’ul khatimah (akhir hidup yang jelek) adalah kebiasaan para ulama dan sesuatu yang mengejutkan orang-orang shalih.
Sahl bin Abdullah At-Tustury berkata, “Takutnya Shiddiqin terhadap su’ul khatimah ini terjadi pada setiap detak jantungnya dan setiap gerakan. Mereka itulah yang disifati oleh Allah subhanahu wa ta`ala dengan firman-Nya, “Dengan hati yang takut”. (QS. Al-Mukminun: 60)
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya rasa takut terhadap khatimah (akhir hayat) telah menggagalkan tampilnya orang-orang yang bertakwa, dan seakan-akan orang-orang yang berbuat dosa lagi zhalim telah menandatangani kontrak keamanan.
Orang-orang yang bertakwa takut kepada su’ul khatimah, sedangkan orang-orang yang banyak dosa seakan-akan pada diri mereka terdapat jaminan keamanan. Sufyan menangis pada suatu malam dan dia semakin banyak menangis. Lalu ditanyakan kepadanya, “Semua ini karena anda takut terhadap dosa?”
Beliau mengambil sebuah piring besar di tangannya lalu berkata, “Demi Allah, dosa itu terasa lebih ringan bagiku daripada ini, akan tetapi saya menangis karena takut terhadap su’ul khatimah.”
Maka hendaknya kita takut terhadap su’ul khatimah. Nabi Shalallahu Alayhi wa Sallam di dalam hadits yang shahih bersabda, “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian benar-benar mengerjakan pekerjaan ahli Surga, sehingga tidak ada (jarak) antara dia dan Surga itu kecuali sehasta saja. Namun ia telah di dahului oleh ketentuan (takdir) Allah atasnya. Lalu ia mengerjakan pekerjaan ahli Neraka, maka ia pun masuk Neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kalian mengerjakan pekerjaan ahli Neraka, sehingga tak ada (jarak) antara dia dan Neraka, kecuali sehasta saja, maka ia didahului oleh ketentuan (takdir) Allah atasnya. Lalu ia mengerjakan pekerjaan ahli Surga, maka ia pun masuk ke dalam Surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sesungguhnya amalan itu tergantung pada akhirnya. “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) Surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat: 30)
Dicopy dengan sedikit perubahan dari buku "Saudariku Kapan Kembali ke Jalan Tuhanmu".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar